Sang Sutasoma, Sepenggal Kisah Tentang Pluralisme (Oleh M. Irfan Ilmie Dan I Made Argawa)

Sore itu, ratusan orang dengan mengenakan pakaian adat Bali memadati altar di salah satu anjungan di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.

Bagi tim kesenian Pemerintah Kota Denpasar merupakan suatu kebahagiaan bisa tampil di anjungan Bali untuk menyemarakkan HUT ke-39 TMII, Sabtu (19/4).

Saat jarum jam menunjuk pukul 19.00 WIB, panitia mempersilakan tim kesenian tersebut naik panggung untuk membawakan Tari Jempiring Putih dan Tari Kedis Tenggek. Melalui olah gerak dan apik, kedua tarian tersebut seolah mengajak audiens untuk melestarikan flora dan fauna.

Kedua tarian itu menjadi pembuka drama dan tari berjudul Sang Hyang Dewi Uma, dimulai "Gong Kebyar" sebagai pengantar para pemain naik panggung.

Drama tari tersebut menceritakan Dewi Uma yang diutus turun ke bumi untuk mencari susu lembu sebagai obat oleh Dewa Siwa. Dewi Uma bertemu dengan Gopala sebagai pengembala lembu. Dewi Uma lantas menceritakan apa maksud dan tujuannya datang ke bumi untuk mendapatkan susu lembu kepada Gopala.

Gopala menyanggupinya dengan syarat Dewi Uma harus bersedia menjadi istrinya. Sang Dewi Uma menyanggupi permintaan Gopala itu karena baktinya kepada Dewa Siwa.

Dewi Uma pun kembali kahyangan membawa susu lembu yang diminta oleh Dewa Siwa. Namun, Dewi Uma terkejut melihat raut muka Dewa Siwa yang marah mengetahui dirinya telah berbuat kesalahan.

Maka, dengan murka Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi Durga dan turun ke dunia sebagai penjaga kuburan atau "Sang Hyang Prajapati" alias Bhatari Durga.

"Kita dapat belajar dari sosok Dewi Uma, dimana perjuangan dan keteguhan dari seorang dewi untuk mengabdi kepada suaminya," kata Direktur Oprasional Taman Mini Indonesia Indah Ade F Meyliala sesudah menghadiri pagelaran tari tersebut.

Dalam pewayangan Jawa, Dewi Uma dan suaminya Bhatara Guru dikisahkan sedang terbang mengendarai Lembu Andini. Karena terlena, keduanya di atas Lembu Andini sampai Dewi Uma hamil. Ketika pulang ke kaahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya tersebut.

Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma. Dia menganggap tindakan tersebut seperti perbuatan raksasa. Karena perkataannya dari Bhatara Guru tersebut, maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung berubah menjadi raksasa.

Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga.

"Ini bukan merupakan sebuah pagelaran dari sebuah ciri khas agama tertentu, tapi banyak hal yang dapat kita pelajari terutama tentang rasa bakti," ujar Ade mengomentari pementasan itu.

Duta Besar Kazakhstan, Mursalnabi Tuyakbayev, yang menonton pementasan tersebut mengaku senang. "Pagelaran ini sangat bagus. Budayanya sangat kental dengan spiritual dan saya untuk pertama kali menyaksikan pergelaran seperti ini secara langsung di TMII serta sangat tertarik dengan kebudayaan yang ditampilkan," ungkapnya.

Dia berharap, pertunjukan sendratari sering ditampilkan karena selain untuk melestarikan kebudayaan juga memperkenalkan kepada masyarakat luas kekayaan tradisi bangsa Indonesia.

"Semoga dari pihak TMII bisa terus menggali potensi budaya yang ada di daerah sehingga semakin dikenal oleh masyarakat global," katanya.

Pertunjukan tersebut juga mendapat perhatian dari beberapa perwakilan negara sahabat, di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Rusia, Tiongkok, dan India.

Pelajaran tentang Kebhinnekaan

Selain pergelaran drama tari Shang Hyang Dewi Uma Pemkot Denpasar juga menampilkan sendratari berjudul Sang Sutasoma. Namun tempatnya tidak di anjungan Bali, melainkan di gedung Teater Bhinneka Tunggal Ika, yang masih di lingkungan TMII.

Pergelaran yang dipentaskan di teater tepi danau buatan tersebut mendapatkan perhatian penuh dari pegunjung objek wisata yang digagas oleh mendiang Ibu Tien Soeharto (istri mantan Presiden Soeharto).

Cerita tersebut mengisahkan ketika Sang Sutasoma menolak dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Hastina sebelum mendapat pencerahan dari Sang Buddha. Sutasoma memperjuangkan prinsip-prinsip kebenaran dan mendamaikan kehidupan di bumi.

Dalam perjalanan Sutasoma untuk bertapa bertemu dengan Kesawa dan mendapat anugerah "Mahahrdayadharani" dari Widyutkarali. Selain itu dia melewati berbagai rintangan, seperti Sang Naga Raja dan Sang Macan yang merupakan simbol dari sifat buruk.

Selanjutnya, Sutasoma bertapa di Puncak Gunung Mahameru dan sempat berhadapan dengan binatang buas dan digoda oleh bidadari. Namun semuanya berhasil dilewatinya.

Setelah alam pikirannya tercerahkan, Sutasoma menjadi Raja Hastina dengan memperistri Diah Candrawati. Tidak lama setelah itu, tersebar kabar Prabu Jayantaka dari Kerajaaan Ratnakanda akan menyerang Kerajaan Hastina.

Pertempuran antara pasukan Ratnakanda dengan pasukan Hastina yang diperkuat oleh pasukan "Dasabahu" tak terhindarkan. Berkat kekuatan "Paramawiwesa", Sutasoma pun berhasil mendamaikan hati Jayantaka. Dalam sekejap suasana terasa damai dan kemarahan pun mereda.

Sabda Sutasoma sebagai tonggak penyatuan Siwa dan Buddha bergema di angkasa merestui dwi tunggal Jayantaka dengan Sutasoma.

Kisah Sutasoma tersebut menginspirasi Empu Tantular untuk menyusun karya sastra "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa".

Dalam novel dengan judul sama, Cok Sawitri menggambarkan kisah tersebut sebagai sebuah pertentangan karena Raja Jayantaka akan mengorbankan 100 kepala raja untuk membayar kaulnya kepada Bhatara Kala.

Raja Jayantaka yang mewakili kepercayaan Siwa bertentangan dengan Raja Sutasoma yang memiliki kepercayaan Budha. Dalam cerita tersebut penulis menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu bumi Nusantara telah mengenal perbedaan, hingga akhirnya tercetuslah sebuah maha karya besar dari Empu Tantular.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi seusai menyaksikan pergelaran tersebut berpendapat bahwa cinta Tanah Air dapat diwujudkan dengan mencintai berbagai kesenian daerah.

"Dari berbagai kesenian tersebut kita dapat belajar tentang kebudayaan dan pengetahuan yang sangat kaya di Nusantara," ujarnya berpesan. (WDY)

Sumber : http://www.antarabali.com/berita/51899/sang-sutasoma-sepenggal-kisah-tentang-pluralisme

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekerjaan Rumah Dari Gus Dur (Oleh : Ievyani Liebedich)

6 Prinsip Bela Negara Atas Pemahaman Sejarah (Oleh : Ayah Debay)

Pluralisme (Oleh : Ronny Leung)