Telaah Tentang Kebangkitan Nasional Indonesia (Oleh :Amiruddin Faisal)

Kebangkitan nasionalisme kultural dewasa ini, dalam sejumlah kasus, tumbuh berbarengan dengan peningkatan sentimen etnisitas, bahkan sentimen keagamaan, yang pada gilirannya memunculkan nasionalisme politik yang amat kental. Seperti dikemukakan Nodia, nasionalisme ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik; tetapi substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Semua ini terlihat jelas melalui latar belakang kemunculan negara-negara di bekas Uni Soviet,Yugoslavia, Kurdistan, atau Eritrea, dan terakhir Kosovo.

Nasionalisme yang muncul merupakan perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamasi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah nasionalisme yang sangat chauvinisme dan fasis, seperti terlihat jelas dalam kasus Serbia. John Naisbitt dalam buku, Global Paradox (1994), secara tersirat menyebut etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai “new tribalism”. Tribalisme baru ini secara sempurna mewujudkan diri dalam berbagai tindak kebrutalan, perkosaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk lain ethnic cleansing’ di wilayah bekas Yugoslavia. Dan ini merupakan kecenderungan yang sangat berbahaya. Di sini Naisbitt mengutip laporan The Economist, yang menyatakan bahwa “virus tribalisme mengandung risiko menjadi AIDS politik internasional, yang diam selama bertahun-tahun, tetapi tiba-tiba membara untuk menghancurkan berbagai negara.” Naisbitt memprediksikan, pada masa depan kebanyakan konflik bersenjata akan bermotif etnik dan tribalisme ketimbang bermotif ekonomi dan politik.

Teori tentang tribalisme baru’ sesungguhnya tidaklah terlalu baru. Konsep tentang ‘tribalisme baru’ ini pertama kali dikembangkan Greely16 dan Novak17 dengan sebutan ‘new ethnicity’. Keduanya berargumen, sejak 1970-an di Amerika Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran etnisitas, sehingga sebutan Amerika sebagai melting pot semakin kehilangan maknanya. Namun, berbeda dengan ‘tribalisme baru’ kontemporer yang disebut Naisbitt, Novak melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru itu, yaitu sensitifitas terhadap pluralisme etnik yang dipadukan dengan sikap respek terhadap perbedaan kultural antara berbagai kelompok etnis, dan pengujian secara sadar terhadap warisan kultural kelompok etnis sendiri.

Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak dengan pengalaman Indonesia? Negara ini tentu saja memiliki potensi etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat bahwa kebangkitan ‘tribalisme baru’ yang relatif ‘modern’ seperti terjadi di Amerika Serikat atau ‘tribalisme baru primitif’ di bekas Yugoslavia mempunyai konteks sosial dan historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara. Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnis maupun agama.

Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini. Indonesia dihuni kelompok-kelompok etnis dalam jumlah besar yang, selain mempunyai kesamaan-kesamaan fisik-biologis, juga memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial. Meski pun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di Indonesia umumnya, etnisitas dapat dikatakan tidak sempat sepenuhnya mengalami kristalisasi menjadi dasar nasionalisme.
Terdapat beberapa faktor yang menghalangi terjadinya kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang terpenting di antara faktor-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan faktor Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Islam menjadi “supra-identity” dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting-yang bahkan menjadi dasar nasionalisme-khususnya bahasa.
Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai kelompok etnis di Indonesia.

Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini, penjajahan Belanda-yang secara teologis menurut ajaran Islam, adalah kafir-merupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu pada tingkat teologis keagamaan.
Di sinilah kemudian sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan. Lihatlah misalnya pengalaman Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), ularna besar asal Palembang yang mengirim surat- surat dari Mekah kepada penguasa Jawa Mataram untuk melakukan jihad melawan Belanda. Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, Islam menjadi unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas lebih tinggi.

Kenyataan ini juga terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman-keindonesiaan, sekaligus sebagai respons terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan masyarakat Cina Hindia Belanda-baik Cina keturunan maupun Cina totok. Walau pun SI pada esensinya merupakan amalgamasi dari berbagai aspirasi-dari gagasan Ratu Adil sampai ke tandingan terhadap dominasi Cina-ia mampu menjadi organisasi yang melewati batas-batas etnisitas dan wilayah. Dengan demikian, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia.
Bahkan, etnisitas cenderung kehilangan relevansinya sebagai sebuah tema politik. Hanya ada sebuah contoh yang agak langka, Gerakan Hasan Tiro di Aceh yang memang berusaha mengeksploitasi sentimen etnisitas Aceh vis-Ã -vis apa yang disebutnya sebagai ‘kolonialisme Jawa’. Ternyata tema “etnisitas” seperti ini tidak mendapatkan dukungan historis, sosiologis dan kultural dari kelompok-kelompok etnis lainnya. Sebab itu, Hasan Tiro mencoba mengeksploitasi sentimen lain yang menurutnya mungkin lebih ampuh, yakni dengan mengangkat nasionalisme Sumatera melalui apa yang disebutnya sebagai “Sumatera Merdeka”. Ini jelas sudah keluar dari etnisitas dalam pengertian sesungguhnya.

Bisa dipastikan, tidak banyak orang Sumatera yang menganggap serius tema ini. Saya sependapat dengan Himmelfarb, adalah ironi yang pahit bagi sejarah bahwa sekarang ini ketika nasionalisme lebih baru menjadi lebih agresif dan brutal, nasionalisme lama menjadi lebih pasif, jinak, bahkan menolak kaitannya dengan agama. Agama dipandang tidak hanya sekadar kendala, tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Ini terlihat,misalnya, dari pandangan Fukuyama yang menganggap agama hanya menimbulkan dampak negatif terhadap nasionalisme.
Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama,seperti dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama. Fukuyama benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme awal (tepatnya proto-nasionalisme) pada abad ke-16 di Eropa yang begitu kental dengan sentimen keagamaan, hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan perang agama. Anggapan ini juga mungkin benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionalisme Serbia beberapa tahun lalu. Namun, dalam kasus Islam di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah, Islam Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekerjaan Rumah Dari Gus Dur (Oleh : Ievyani Liebedich)

6 Prinsip Bela Negara Atas Pemahaman Sejarah (Oleh : Ayah Debay)

Pluralisme (Oleh : Ronny Leung)