Berbuat untuk Orang Lain (Oleh : Ayah Debay)

Berbuat untuk Orang Lain (Oleh : Ayah Debay)
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melontarkan pernyataan yang agak kontroversial, dua pekan menjelang puasa, tahun ini. Ia memperingatkan organisasi massa yang kerap menyisir warung, dan restoran beroperasi pada bulan Ramadhan, supaya tidak mengulangi tindakan.
Lukman berseru, “Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa."
Seruan Lukman segera mendapat tanggapan, pro maupun kontra; bersepakat maupun menyanggah. Aneka dalih disampaikan dari masing-masing pihak; baik dalih normatif, sosil, ekonomi hingga aspek agama. Para penanggap dari kalangan media sosial, sebagai terseret isu-isu agama, antipluralisme.
Bicara tentang pluralisme, di dalamnya terkandung toleransi, relevan mengingat dua tokoh Islam ternama; mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid alias Can Nur.
Gus Dur dan Cak Nur pejuang sekaligus pembela kesetaraan. Abdurrahman Wahid (lahir 7 September 7 - meninggal 30 Desember 2009, memang kontroversial. Misalnya ia pendukung utama Asas Tunggal Pancasila diwajibkan pada semua organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan, menentang gerakan ekonomi ICMI, mendorong pemerintah membuka hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel.
Gus Dur pun pernah menolak rancangan undang-undang antipornografi, pembelaan goyang ngebor Inul Daratista, membela Ulil Absar sebagai tokoh gerakan Islam Liberal.
Adapun Nurchalish Madjid (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) menebarkan virus pemikiran keberagam (pluralisme) agama terutama di kalangan intelektual Islam di Indonesia. Cak Nur masuk penolak gagasan terhadap syariat dan sistem Negara Islam, wacana yang kerap dikritik bahkan dihujat kalangan fundamental.
Cak Nur beranggapan hak primordial setiap manusia dan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan sangat mungkin berbeda-beda antarmanusia, walaupun memeluk agama yang sama. Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama.
Keberadaan Gus Dur dan Cak Nur yang memperjuangkan keseteraan dan keberagaman demikian, kerap salah tafsir. Mereka bukan sebatas membela dan atau memperjuangkan kelompok orang yang kebetulan kurang banyak dari sisi jumlah dan populasi, untuk menghindari dikotomi minoritas versus mayoritas.
Anita Wahid, putri Gus Dur menjelaskan, ayahnya yang adalah cucu dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, bukan dalam posisi membela kaum minoritas, dan melawan mayoritas. Gus Dur berbuat bukan untuk dirinya, tapi bagi menyejajarkan harkat-martabat manusia, apa pun latar belakangnya.
Kepeloporan Gus Dur mendapat pujian rohaniawan Katolik, Pastor Yusuf Bilyarta Mangun Wijaya atau Romo Mangun (6 Mei 1929 - 10 Februari 1999).
Romo Mangun semasa hidupnya menyebut, dia bersama Gus Dur dan seorang wanita tokoh Hidun, Gedong Bagus Oka (3 Oktober 1921 – 14 November 2002) teman baik. Satu waktu Romo Mangun berkata mereka bertiga adalah satu iman namun berbeda agama.
Tiga tokoh paling atas, berasal dari kalangan Islam. Adakah dari kalangan non-muslim, yang berjuang setidaknya berbuat membela orang lain, bukan dari kaumnya. Barangkali tidak banyak. Sekadar menyebut contoh, ya Romo Mangun tadi.
Dalam segala keterbatasan yang dia miliki, Romo Mangun dikenang masyarakat di pinggiran Kali Code, Yogyakarta Kali Code tak lepas dari peran Romo Mangun. Tahun 1970-an, Kali Code relatif tidak dapat dimanfaatkan lagi karena kotor dipenuhi sampah rumah tangga. Romo Mangun mengajak warga menciptakan lingkungan bersih dan indah sehingga dapat menjadi alternatif tempat wisata bagi masyarakat sekitar.
Kasus waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, adalah contoh lain. Warga menolak penggusuran dan pemindahan lokasi pemukiman karena tanahnya dijadikan waduk. Waduk menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.
Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan KH Hammam Ja'far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi warga yang umumnya warga adalah non-muslim.
Itulah beberapa perjuangan para tokoh bangsa. Mereka berbaut, bukan untuk keuntungan sendiri, malah rela dicerca, dimusuhi karena berbuat demi kepentingan orang lain.
Kebetulan ini sedang Bulan Ramdhan, saat saudara-saudari umat Islam menunaikan ibadah puasan, selain mengikuti anjuran Menteri Agama, selayaknya juga kalangan yang tidak berpuasa –muslim maupun non-muslim, menghargai teman yang berpuasa.
Contoh kecil, andai terpaksa merokok, minum atau makan, carilah tempat tertutup, yang tidak mengganggu orang lain. Atau saat bekerja, hindarilah makan-minum di hadapan kolega yang berpuasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekerjaan Rumah Dari Gus Dur (Oleh : Ievyani Liebedich)

6 Prinsip Bela Negara Atas Pemahaman Sejarah (Oleh : Ayah Debay)

Pluralisme (Oleh : Ronny Leung)