Kami butuh Islam Yang rahmat, bukan atas nama Islam Yang laknat. (Oleh : Amiruddin Faisal Admin Grup Sahabat Gus Dur )
Kami butuh Islam Yang rahmat, bukan atas nama Islam Yang laknat.
Oleh : Amiruddin Faisal
Admin Grup Sahabat Gus Dur
Berbicara soal radikalisme sebagaimana banyak para pengamat sosial-kegamaan menyatakan—bahwa benih-benih radikalisme (khususnya radikalisme yang mengatasnamakan Islam) begitu tumbuh subur dan telah menjadi persoalan pelik (selain) ditandai pasca meledaknya tragedi WTC 11 September 2001 juga merupakan konsekuensi dari kran reformasi dari masa transisi ke demokrasi Indonesia pasca rezim orde baru tumbang. Ya, pasca tumbangnya rezim orde baru dan tragedi WTC ini, fenomena radikalisme telah menjadi sorotan publik yang bukan hanya telah dianggap menggoyahkan kerukunan antar umat beragama, integritas perdamaian, melainkan pula telah menjadi kejahatan kemanusiaan berskala dunia.
Berbagai aksi bom pun meluas dengan target berbagai pusat perbelanjaan yang dianggap sebagai wujud hedonisme dan kapitalisme barat seperti yang terjadi di Plaza Atrium Senen Jakarta (2001), Restoran KFC dan Mc. Donald Makasar (2002), Mall Ratu Indah Makasar (2002), Kafe Sampodo Indah Palopo (2004) dan pasar Maesa Palu (2005).
Berbagai aksi terorisme juga memasuki ranah internasional, karena memilki target warga Negara asing, antara lain Bom Kedutaan Filipina (2002), Bom Bali I (12 Oktober 2002), Bom Hotel J. W. Marriott (5 Agustus 2003), Bom Kuningan di depan Kedutaan Australia (9 Sptember 2004), Bom Bali II (1 Oktober 2005), dan Bom Hotel Ritz Carlton dan J. W. Marriott II (17 Juli 2009).
Hingga bom bunuh diri di komplek Mapolresta Cirebon Kota (April 2011) dan dengan peristiwa serupa meledaknya bom di GKBI Kepunton, Solo (September 2011).
Selain dari deret fenomena radikalisme (terorisme) tersebut diatas, berdasarkan pantauan Moderat Muslim Society (MMS) bahwa sepanjang tahun 2010 setidaknya telah terjadi 81 kasus intoleransi. Dan dari 81 kasus tersebut, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadah dan intimidasi. Dari segi jenisnya, kasus yang paling sering terjadi adalah penyerangan dan perusakan (24 kasus); penutupan dan penolakan rumah ibadah (24 kasus); ancaman, tuntutan, dan intimidasi (15 kasus); penghalangan kegiatan ibadah (6 kasus); diskriminasi karena keyakinan (4 kasus); pembubaran kegiatan atas nama agama (3 kasus); dan kriminalisasi paham keagamaan (3 kasus) dan pengusiran (2 kasus).
Selain dari deret fenomena radikalisme (terorisme) tersebut diatas, berdasarkan pantauan Moderat Muslim Society (MMS) bahwa sepanjang tahun 2010 setidaknya telah terjadi 81 kasus intoleransi. Dan dari 81 kasus tersebut, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadah dan intimidasi. Dari segi jenisnya, kasus yang paling sering terjadi adalah penyerangan dan perusakan (24 kasus); penutupan dan penolakan rumah ibadah (24 kasus); ancaman, tuntutan, dan intimidasi (15 kasus); penghalangan kegiatan ibadah (6 kasus); diskriminasi karena keyakinan (4 kasus); pembubaran kegiatan atas nama agama (3 kasus); dan kriminalisasi paham keagamaan (3 kasus) dan pengusiran (2 kasus).
Potret buram ini telah menjadi ancaman serius bagi kemapanan integritas bangsa yang sudah lama terbangun, bahwa genderang radikalisme semakin dan begitu tumbuh subur di Indonesia. Tampak bahwa bersamaan dengan suburnya radikalisme, ini tidak lepas dari para pelakunya, yang kian hari kian bertambah banyak jumlahnya. Ada benarnya jika pepatah berbilang: “patah tumbuh, hilang berganti”. Tewasnya dua gembong teroris Dr. Azhari dan Noordin M. Top, bukan malah menyurutkan aksi radikalisme, ini malah membawa angin segar tersendiri bagi “pengantin-pengantin” lain yang kini masih hidup.
Dalam menyikapi fenomena ini, Zuhairi Misrawi menggarisbawahi bahwa terorisme yang lahir dalam rahim radikalisme agama bukan hanya persoalan pelaku, tetapi lebih terkait dengan keyakinan (teologi). Dengan kata lain, betapapun para pelakunya dapat diringkus bahkan dibunuh, tetapi keyakinannya tidak mudah dilunturkan.
Oleh karena itu menurut Gamson (1992) sebagaimana dikutip Dhyah (2010), persepsi dan kepercayaan ini merupakan frame atau pembentuk bagi seorang Muslim berpartisipasi dalam sebuah gerakan Islam. ‘Frame’ sendiri merupakan perangkat keyakinan yang berorientasi aksi yang mendorong dan membenarkan gerakan sosial.
Sehingga dengan demikian menurut Klandermans (1997) ditinjau dari sudut psikologi sosial, frame meliputi tiga hal yaitu perasaan tidak adil, identitas kelompok yang mengidentifikasikan ‘kita’ sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain atau penguasa, dan agensi.
Berdasarkan teori dan analisis Gamson dan Klandermans tersebut, ini yang menyebabkan begitu variannya radikalisme sehingga efeknya jauh lebih fatal. Bahaya radikalisme tidak hanya melahirkan terorisme, akan tetapi juga telah melahirkan sejumlah sikap dan aksi esktrim lain; mulai dari intimidasi, pelarangan, pengusiran, hingga perusakan rumah ibadah pemeluk agama lain, semakin marak dalam ekspresi keberagamaan. Sikap tertutup, mengisolir dari orang lain, menjauh dari dialog antar pemeluk internal maupun eksternal agama telah menjadi penyebab utama lahirnya pelbagai aksi radikalisme ini.
Atas dasar frame tersebut pula, yang kemudian melahirkan pendangkalan dan kekeliruan interpretasi kelompok ekstrimis terhadap terma jihad. Jihad telah mengalami distorsi makna dan cakupannya. Jihad hanya dipahami secara literal sebagai sebuah kerja sungguh-sungguh yang melulu dimaknai dengan perang. Sehingga itu, atas pemaknaan sempit seperti ini pula yang juga melahirkan motif kebencian terhadap orang lain terutama non-Muslim.
Berdasarkan teori dan analisis Gamson dan Klandermans tersebut, ini yang menyebabkan begitu variannya radikalisme sehingga efeknya jauh lebih fatal. Bahaya radikalisme tidak hanya melahirkan terorisme, akan tetapi juga telah melahirkan sejumlah sikap dan aksi esktrim lain; mulai dari intimidasi, pelarangan, pengusiran, hingga perusakan rumah ibadah pemeluk agama lain, semakin marak dalam ekspresi keberagamaan. Sikap tertutup, mengisolir dari orang lain, menjauh dari dialog antar pemeluk internal maupun eksternal agama telah menjadi penyebab utama lahirnya pelbagai aksi radikalisme ini.
Atas dasar frame tersebut pula, yang kemudian melahirkan pendangkalan dan kekeliruan interpretasi kelompok ekstrimis terhadap terma jihad. Jihad telah mengalami distorsi makna dan cakupannya. Jihad hanya dipahami secara literal sebagai sebuah kerja sungguh-sungguh yang melulu dimaknai dengan perang. Sehingga itu, atas pemaknaan sempit seperti ini pula yang juga melahirkan motif kebencian terhadap orang lain terutama non-Muslim.
Bagi mereka, memilih jalan radikal dan teror dianggap sebagai sebuah pengorbanan mulia yang selalu dinisbahkan kepada nabi SAW dan para sahabatnya yang berperang melawan kedholiman orang-orang kafir, karenanya, matinyapun dianggap martir. Bahkan mereka menganggap terorisme sebagai sebuah wajib ‘ain, hukum wajib yang berlaku bagi setiap individu.
Disinilah perlunya memaknai ulang apa itu hikmah dibalik makna jihad yang sesungguhnya. Abd. Moqsith Ghazali dalam bukunya; Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (2009), memberikan eksplorasi yang cukup komperhensip dalam melakukan reorientasi makna jihad. Jihad, pada awalnya sama sekali tidak merujuk pada peperangan, apalagi ayat-ayat yang berbicara tentang jihad turun di Mekah, dimana (di Mekah) tak pernah terjadi peperangan yang melibatkan orang Islam dan kafir-musyrik Mekah.
Disinilah perlunya memaknai ulang apa itu hikmah dibalik makna jihad yang sesungguhnya. Abd. Moqsith Ghazali dalam bukunya; Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (2009), memberikan eksplorasi yang cukup komperhensip dalam melakukan reorientasi makna jihad. Jihad, pada awalnya sama sekali tidak merujuk pada peperangan, apalagi ayat-ayat yang berbicara tentang jihad turun di Mekah, dimana (di Mekah) tak pernah terjadi peperangan yang melibatkan orang Islam dan kafir-musyrik Mekah.
Jihad dalam arti sesungguhnya lebih merupakan upaya sesorang untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, sebab itu orang yang demikian disebut Mujahid. Ayat-ayat yang dimaksud seperti terbaca dalam QS. al-Furqon [25]: 52, al-‘Ankabut [29]: 69, al-‘Ankabut; [29]: 6, Luqman [31]: 15.
Lepas dari itu, dalam hemat penulis, bahwa radikalisme dan segala bentuknya, sejatinya telah menabrak hak kebebasan dalam mengekpresikan keberagamaan dan berkeyakinan. Akibatnya tidak jarang sejumlah stempel sesat dan kafir dijadikan alat ampuh dalam mengebiri hak kebebasan terhadap sejumlah aliran (sekte) keagamaan yang berbeda dengan arus utama, semisal stempel penyesatan yang telah terjadi pada kelompok Ahmadiyah, Komunitas Lia Eden, dan lain sebagainya.
Lepas dari itu, dalam hemat penulis, bahwa radikalisme dan segala bentuknya, sejatinya telah menabrak hak kebebasan dalam mengekpresikan keberagamaan dan berkeyakinan. Akibatnya tidak jarang sejumlah stempel sesat dan kafir dijadikan alat ampuh dalam mengebiri hak kebebasan terhadap sejumlah aliran (sekte) keagamaan yang berbeda dengan arus utama, semisal stempel penyesatan yang telah terjadi pada kelompok Ahmadiyah, Komunitas Lia Eden, dan lain sebagainya.
Padahal, ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan misi kebebasan yang terkandung didalam Islam (al-Qur’an). Dalam QS. al-Baqarah [2]: 256 dan QS. al-Kahfi [18]: 19 misalnya, kedua ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan (pilihan) dalam beragama, berkeyakinan, atau tidak sekalipun.
Dari potret pelik radikalisme diatas, jika dirunut dari berbagai fenomenanya yang telah terjadi, radikalisme terwujud kedalam beberapa bentuk ataupun sikap. Dibawah ini penulis mencoba mengidentifikasi beberapa bentuk radikalisme yang sering digelar oleh kelompok Islam radikal yang implikasinya dapat merusak tatanan integritas kerukunan antar umat beragama dan bangsa.
1. Intimidasi
Merupakan sikap (sejenis) menakut-nakuti orang lain—khususnya terhadap pemeluk agama yang berbeda (non-Muslim)—dengan sejumlah doktrin-doktrin maupun sikap-sikap yang menyebabkan ketidaknyamanan orang lain. Seperti misalkan mengintimidasi seseorang (non-Muslim) dengan mengancam agar ia tidak melakukan ritual ibadahnya. Sikap yang demikian inilah yang penulis maksud dengan intimidasi sebagai bentuk radikalisme.
Merupakan sikap (sejenis) menakut-nakuti orang lain—khususnya terhadap pemeluk agama yang berbeda (non-Muslim)—dengan sejumlah doktrin-doktrin maupun sikap-sikap yang menyebabkan ketidaknyamanan orang lain. Seperti misalkan mengintimidasi seseorang (non-Muslim) dengan mengancam agar ia tidak melakukan ritual ibadahnya. Sikap yang demikian inilah yang penulis maksud dengan intimidasi sebagai bentuk radikalisme.
2. Labelisasi “Sesat”, “Musyrik”, “Kafir” dan seterusnya
Kelompok Islam radikal biasanya tidak segan-segan untuk melabelkan predikat “sesat, musyrik, bahkan kafir” terhadap kelompok Islam lain, apalagi terhadap kelompok non-Muslim. Mereka menganggap bahwa pemahaman selain mereka telah menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian, kebersikapan Islam dalam ritual-ritual NU seperti tahilan, marhabanan, manaqiban, haul, dan seterusnya mereka anggap sebagai ritual-ritual yang akan mendatangkan kemusyrikan.
Kelompok Islam radikal biasanya tidak segan-segan untuk melabelkan predikat “sesat, musyrik, bahkan kafir” terhadap kelompok Islam lain, apalagi terhadap kelompok non-Muslim. Mereka menganggap bahwa pemahaman selain mereka telah menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian, kebersikapan Islam dalam ritual-ritual NU seperti tahilan, marhabanan, manaqiban, haul, dan seterusnya mereka anggap sebagai ritual-ritual yang akan mendatangkan kemusyrikan.
3. Pelarangan beribadah
Merupakan sebuah sikap yang berbentuk pelarangan kepada siapapun—khususnya—non-Muslim agar ia tidak melakukan ritual ibadahnya dengan berbagai alasan yang tidak logis. Dari sikap semacam ini, penulis mempunyai konsekuensi terbalik, (andaikan) jika ini kemudian terjadi dan dialami oleh umat Muslim. Misalkan, seorang muslim dilarang melakukan shalat di masjid. Penulis rasa sikap ini sama sekali tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Mengapa demikian? Karena persoalan ibadah adalah persoalan yang sangkutannya dengan Tuhan (koneksi vertikal), yang kemudian tidak diperkenankan adanya intervensi dari siapapun, apalagi melakukan sebuah pelarangan.
Merupakan sebuah sikap yang berbentuk pelarangan kepada siapapun—khususnya—non-Muslim agar ia tidak melakukan ritual ibadahnya dengan berbagai alasan yang tidak logis. Dari sikap semacam ini, penulis mempunyai konsekuensi terbalik, (andaikan) jika ini kemudian terjadi dan dialami oleh umat Muslim. Misalkan, seorang muslim dilarang melakukan shalat di masjid. Penulis rasa sikap ini sama sekali tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Mengapa demikian? Karena persoalan ibadah adalah persoalan yang sangkutannya dengan Tuhan (koneksi vertikal), yang kemudian tidak diperkenankan adanya intervensi dari siapapun, apalagi melakukan sebuah pelarangan.
4. Perusakan rumah ibadah
Yang namanya merusak jelas ini merupakan perilaku yang telah keluar menerobos batas etika toleransi keberagamaan. Apalagi melakukan tindak perusakan terhadap rumah ibadah non-Muslim yang oleh ajaran agama Islam sendiripun sangat dilarang. Maka dari itu, salah satu komitmen kerukunan umat beragama yang harus dijunjung tinggi adalah bersama-sama menjaga keberadaan rumah ibadahnya satu sama lain. Artinya, bersama membangun kerukunan hidup dalam beragama dalam bentuk memberikan kenyamanan ibadah adalah ajaran yang terdapat dalam agama manapun, yang tidak hanya ada dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, perusakan tempat ibadah merupakan salah satu sikap yang termasuk pada tindak radikalisme yang dilarang.
4. Bom bunuh diri (terorisme)
Fenomena bom bunuh diri dewasa ini sedang menemukan momentumnya, seperti dua peristiwa terbaru bom bunuh diri yang terjadi di masjid ad-Dzikra Mapolresta Cirebon dan GKBI Kepunton Solo belum lama ini.
Fenomena bom bunuh diri sering diidentikkan dengan konsep jihad dalam Islam, selain ini merupakan sebuah pendangkalan pemahaman, juga merupakan kekeliruan besar dalam memaknai jihad dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, bom bunuh diri yang berakibat menewaskan banyak orang ini, sebaiknya kita hadapi bersama (minimalnya) dengan mencari makna jihad yang lebih mempunyai manfaat luas, seperti misalnya dengan berjihad dalam menuntut ilmu.
Fenomena bom bunuh diri sering diidentikkan dengan konsep jihad dalam Islam, selain ini merupakan sebuah pendangkalan pemahaman, juga merupakan kekeliruan besar dalam memaknai jihad dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, bom bunuh diri yang berakibat menewaskan banyak orang ini, sebaiknya kita hadapi bersama (minimalnya) dengan mencari makna jihad yang lebih mempunyai manfaat luas, seperti misalnya dengan berjihad dalam menuntut ilmu.
Itulah beberapa tindak kekerasan Islam radikal yang lahir dari rahim radikalisme yang dapat merusak tatanan damai kehidupan masyarakat Indonesia. Dari beberapa tindak kekerasan diatas, sangat memungkinkan adanya bentuk-bentuk kekerasan lain yang serupa. Namun demikian, tindak kekerasan diatas dapat kita tarik benang merah bahwa tindak kekerasan selalu merujuk pada diskriminasi (pembedaan), arogansi (mau menang sendiri), merasa paling benar sementara yang lain salah, dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, dari deretan bentuk radikalisme diatas, mau tidak mau misi Islam sebagai gerbong rahmatan lil’alamin kini berbalik arah sejak tindak radikalisme begitu menjamur. Islam dewasa ini tidak jarang dicap dan dipersepsikan sebagai agama yang identik dengan kekerasan dan terorisme.
Jadilah terorisme dan sikap-sikap ekstrim lain yang lahir dari rahim radikalisme ini ibarat sebuah tanaman yang terus bermetamorfosis makin menjadi subur.
Wallahu a'lam
Allahu yahdiih
Allahu yahdiih
Komentar
Posting Komentar