Ksatria dan Jelata (Oleh : MH Nurul Huda, pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia)

Ksatria dan Jelata
Sejarah, kata banyak orang, adalah perjalanan yang penuh misteri. Siapa dapat menyingkap misterinya ia berpotensi mengenali kemungkinan arahnya. Lebih jauh ia juga dapat turut serta mempengaruhi momen demi momen jalannya sejarah, kalau pun bukan hasil akhirnya secara sempurna.

Maka tak heran bila kemudian para pemikir, ilmuwan sosial, sejarahwan, dan lain-lainnya berusaha menyingkap teka-teki itu. Dengan spirit “menciptakan sebuah dunia yang lebih baik” (to create a better world) atau “mengubah nasib suatu kaum”, mereka berupaya mendeteksi ritme tertentu di kacau-balaunya sejarah. Mereka juga bekerja keras untuk menemukan harmoni, keselarasan-keselarasan, yang ada di dalamnya seturut dengan hukum alam.

Dalam hal ini, penulis sependapat dengan sejumlah rekan dan sahabat yang mengatakan bahwa proses sejarah berakar pada spirit manusia. Mentalitas manusialah yang membuat suatu kaum, komunitas, atau masyarakat mampu mengubah keadaannya. Kekuatan mental itu pula yang akan mampu mengatasi tantangan-tantangan zamannya. Seperti dinyatakan oleh sejarahwan besar Arnold Toynbee bahwa ketika suatu peradaban mulai lahir dari usahanya untuk mengatasi tantangan-tantangan dan problem-problem di sekitarnya, pertumbuhannya bergantung pada munculnya orang-orang yang kreatif. Kemajuan akan dicapai dan melesat bila tantangan-tantangan itu makin keras tapi sekaligus dapat diatasi oleh respons yang tepat dari ‘minoritas kreatif’ ini.

Sayangnya, stok orang-orang kreatif yang kerap berpikir “out of the box” ini kerap terbatas. Suplainya tidak selalu terpenuhi dalam periode waktu yang panjang. Kebanyakan orang mau meniru, tapi kembali sempit berpikirnya, parokial, picik, kaku, eksklusif. Itulah sebabnya, menurut Toynbee, suatu peradaban yang masih bayi akhirnya melemah dengan sendirinya. Bayi peradaban itu menderita Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) akibat kehamilan ibunya yang berisiko tinggi.

Kendati spirit manusia merupakan akar dari sejarah, bukan berarti kekuatan material dapat diabaikan. Seperti dinyatakan oleh ekonom dan sejarahwan Karl Marx, bahwa sejarah juga ditentukan oleh kekuatan-kekuatan material (tanah, tenaga kerja, modal, mesin, dan lain-lain). Karena itu mustahil suatu perbaikan kehidupan dan perjuangan kemanusiaan tanpa disertai keadilan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Hanya tuntutan keadilan ekonomi di dalam situasi di mana keuletan spirit perjuangan manusia itu menang, bayi peradaban yang akan membawa kebaikan-kebaikan itu dapat tumbuh sehat dan normal.

Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan Gus Dur dan ditegaskan kembali pada esai sebelumnya, perjuangan menghadapi tantangan-tantangan itu bersifat internal sekaligus eksternal. Perjuangan dimulai dalam bentuk pertarungan spirit dalam diri pribadi manusia antara yang baik (nafsul muthmainnah) dan yang buruk (nafsul mulawwamah/madzmumah/amarah). Ia lalu meluas dalam perjuangan eksternal berupa pertarungan abadi melawan kezaliman di dunia sosial dan material yang brutal.

Keberhasilan relatif atas perjuangan internal memunculkan apa yang disebut oleh sahabat-sahabat Gusdurian dalam “9 Nilai Gus Dur” sebagai mentalitas “keksatriaan”. Sedangkan perjuangan eksternal terwujud dalam praktik “pembebasan” terhadap masyarakat jelata dan lemah (mustadh’afin) dari ketidakadilan dan derita sosial lainnya (Lihat, “9 Nilai Utama Gus Dur” dalam www.gusdurian.net). Seperti yang juga dikutip Gus Dur dari Al-Quran: “Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubah apa-apa yang ada dalam diri mereka”.

Perjuangan eksternal di zaman mutakhir mau tidak mau dihadapkan pada kondisi-kondisi yang dapat digambarkan berikut ini. Kaum jelata digusur sewenang-wenang, sumberdaya alam komunalnya diambil alih, hak-haknya dirampas. Ikatan keluarga melemah yang tercermin pada kurangnya disiplin anak dan rendahnya penghormatan mereka pada wewenang pengasuhan bapak-ibunya. Kendurnya ikatan itu (kohesi sosial) juga tercermin pada banyaknya kasus perceraian, permusuhan di internal keluarga, dan penelantaran terhadap orang-orang tua jompo. Martabat perempuan direndahkan yang tercermin pada banyaknya perkosaan, pelecehan, prostitusi dan perdagangan perempuan. Korupsi ada di mana-mana, militerisme kembali eksesif (mentalitas ksatria tanpa moral), kemerdekaan berpikir dan bersuara dikebiri.

Sayangnya, penulis tidak tahu apakah perubahan sosial dalam siklus sejarah evolutif di era ini (bila pembaca percaya sejarah berjalan siklis misalnya dalam pemikiran Ibnu Khaldun, P.R. Sarkar, atau berjalan menyerupai “spiral” seturut ruang dan waktu yang samar-samar pada pemikiran Gus Dur) mengharuskan bersatunya kepemimpinan dua golongan ini (mentalitas ksatria dan jelata-nya Gusdurian). Suatu era di mana keserakahan produksi kapitalistik dan reproduksi budaya kapitalisme (gabungan mentalitas pedagang dan intelektual mutan tanpa moral) yang membabi buta dapat menerjang siapa saja menjadi jelata di tanah dan airnya sendiri dan melata di bawah kaki-kakinya. [bersambung]


*) MH Nurul Huda, pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekerjaan Rumah Dari Gus Dur (Oleh : Ievyani Liebedich)

6 Prinsip Bela Negara Atas Pemahaman Sejarah (Oleh : Ayah Debay)

Pluralisme (Oleh : Ronny Leung)