Islam dan Ruang Publik (Oleh : Alamsyah M. Dja'far Peneliti di The Wahid Institute)
Islam dan Ruang Publik
Alamsyah M. Dja'far*
Suatu ketika di sebuah media online lokal, saya baca pernyataan seorang pejabat pemerintah di Kepulauan Seribu -kampung halaman saya. Intinya menghimbau warga pulau pemilik penginapan menyediakan perlengkapan ibadah. Sang pejabat lalu merujuk dan mencontohkan mukena, sajadah, dan kain sarung bersih. Selain meningkatkan kualitas layanan, penyediaan perlengkapan ibadah ini menurutnya sekaligus sebagai cara halus mengingatkan para wisatawan muslim agar tak lupa beribadah meski sedang berwisata.
Dalam dua tahun terakhir, sejumlah pulau berpenduduk di Kepulauan Seribu dibanjiri ribuan wisatawan. Mereka datang dari Jakarta, Bandung, Sumatera, bahkan luar negeri. Pulau Tidung misalnya. Pulau berpenduduk mayoritas muslim ini setiap minggunya dikunjungi rata-rata 1500 wisatawan yang tak semuanya muslim. Dari kunjungan itulah kesejahteraan masyarakat yang mayoritas nelayan ini terus bangkit.
Sekilas, pernyataan pejabat di atas tampak wajar. Dengan penduduk mayoritas muslim, penyediaan peralatan shalat bagi wisatawan muslim tentu saja hak pengelola penginapan, sekaligus bagi wisatawan muslim yang juga dijamin undang-undang. Hanya saja, dari sudut lain pernyataan pejabat publik di forum publik ini bisa dipertanyakan dengan beberapa alasan.
Pertama, pejabat publik jelas tak diandaikan hanya mewakili dan melayani warganya atas dasar agama atau kepercayaan tertentu. Idealnya mereka mengambil posisi netral dan imparsial dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Undang-undang tegas menyebut, setiap warga negara, apapun jenis agama dan kepercayaannya, memiliki hak dan kewajiban setara. Kewajiban membayar pajak, sumber pembiayaan negara dan gaji pejabat negara, juga tak membedakan mereka yang muslim dan nonmuslim. Dengan logika macam ini, pembayar pajak dapat menuntut negara berlaku adil dan tak diskriminatif.
Logika perlengkapan ibadah yang dimengerti sekadar perlengkapan ibadah wisatawan muslim, sedang pada saat yang sama tak membicarakan hak bagi non-muslim, sesungguhnya memberi jalan bagi tindakan diskriminasi. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebut diskriminasi sebaga setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.
Kedua, pernyataan itu cerminan dari "nalar mayoritas" yang tengah menggejala. Nalar ini mengandaikan mayoritas dipandang sebagai kelompok utama yang lebih berhak membuat keputusan bagi masyarakat keseluruhan, sedang minoritas dan kenyataan keragaman pandangan tak cukup terakomodasi.
Melalui proses sejarah panjang relasi agama-negara di Indonesia, nalar itu muncul, berkembang, dan seolah-olah diterima begitu saja: begitulah mayoritas diperlakukan. Sejarah sosial dan keagamaan di Indonesia memang menunjukan relasi kuat agama-negara. Biasanya, berdirinya Departemen Agama pada 3 Januari 1946, selalu menjadi rujukan mengenai kekhasan hubungan agama dan negara yang menganut Pancasila, bukan sekuler. Sayangnya, yang lebih ditonjolkan justru kesan kuatnya relasi Islam-negara. Padahal kata "agama" di sana jelas menunjukan bentuk kompromi agar departemen ini tak hanya mengurus Islam, tapi juga agama lain. Prinsip keadilan ini yang mungkin membuat usul "Kementerian Islamiyah" ala Mohammad Yamin, anggota BPUPKI, ditolak.
Di masyarakat umum tak sedikit kita jumpai nalar mayoritas semacam itu. Di komplek-komplek perumahan baru sekarang ini, misalnya, tak sedikit yang memaksudkan fasilitas sosial untuk rumah ibadah sama dengan masjid. Alasannya, karena mayoritas penghuninya muslim. Kita lupa, penghuni non-muslim juga punya hak sama dan semestinya diberi hak untuk bersuara. Tak berarti di sana harus didirikan masing-masing satu rumah ibadah, padahalnya pemeluknya hanya segelintir orang. Prinsip pokoknya, bagaimana minoritas diberi suara dan ruang berpartisipasi. Tak heran, belakangan muncul gagasan hak pemeluk agama dan kepercayaan terhadap tempat ibadah diwujudkan dalam bentuk proporsi jumlah pemeluk dengan luas tanah tertentu. Di sekolah-sekolah umum, bukan agama, fasilitas sosial untuk tempat ibadah juga seolah-olah dengan sendirinya berarti masjid.
Ketiga, pernyataan tersebut mencerminkan pula pergumulan dan dinamika pengelolaan agama di ruang publik. Ruang publik mengandaikan adanya keragaman, termasuk agama dan keyakinan di dalamnya. Ia juga mengandaikan kehadiran minoritas yang perlu mendapat ruang dan suara. Untuk bisa diterima publik, nilai atau doktrin-doktrin keislaman mau tidak mau perlu melakukan transformasi dengan nilai-nilai publik lain agar bisa diterima disepakati sebagai keputusan publik. Dan ruang publik adalah arena di mana kritik dan debat terhadap nilai-nilai agama tertentu diselenggarakan.
Itulah mengapa kritik terhadap sejumlah undang-undang yang dianggap bernuansa Islam dan hanya diperuntukan untuk umat Islam, seperti UU Zakat atau Haji terus mengemuka. Muncul juga kritik pegiat HAM terhadap pernyataan-pernyataan Menteri Agama, khususnya terkait aliran sesat. Bagi sejumlah kalangan, regulasi itu diskriminatif karena mengutamakan mayoritas, minoritas diabaikan. Pernyataan Menag juga dinilai diskriminatif karena dianggap bertindak seolah-olah mewakili agama tertentu dan menghakimi keyakinan tertentu. Kritik semacam tak mungkin dihindari di tengah ruang publik yang kian terbuka bebas.
Dengan demikian, perlu ditekankan problem pokoknya bukan lagi soal apakah negara bisa mengurus dan mengatur agama, tapi pada sejauhmanakah negara bisa mengatur dan mengelola agama dengan adil dan tidak diskriminatif. Di negara-negara sekuler sekalipun, konsep pemisahan agama-negara justru terus mengalami penyesuaian dan pergeseran. Tahun 2005, di Amerika pernah ribut soal pameran Ten Commandement yang digelar di salah satu bangunan publik di Texas. Yang menolak beralasan, pameran melanggar Klausul Amandemen Pertama yang menegaskan prinsip pemisahan gereja dan negara. Tapi, Mahkamah memutuskan pameran di halaman gedung pemerintah di texas konstitusional, namun tidak di ruang sidang Kentucky. Itupun dengan tidak dibarengi tindakan negara yang dianggap mempromosikan agama dan keyakinan tertentu.
Pemahaman mengenai pengelolaan ruang publik ini sesungguhnya juga akan memberi pengayaan bagi penyelenggara negara dan masyarakat sipil, bahwa perkara dan doktrin agama tertentu tak bisa dengan mudah diterapkan begitu saja di ruang publik. Perlu ada proses dan tahapan agar nilai dan doktrin agama bisa diterima publik yang beragam.
Dalam kasus wisata di atas, tampaknya penduduk pulau pemilik penginapan diam-diam justru melakukan "kompromi keagamaan" semacam ini. Buktinya, kebanyakan mereka selama ini mau menerima para wisatawan nonmuslim. Padahal, debat mengenai seputar hukum menerima tamu non-muslim beberapa kali muncul, termasuk soal citra wisata yang menarik aktivitas maksiat.
Kasus di Kepulauan Seribu ini mungkin hanya secuil contoh, tapi bisa memberi memberi sinyal akan prolem pengelolaan agama di ruang publik dewasa ini. Di bagian wilayah lain di negeri ini, kasus serupa mungkin terjadi dan potensial terjadi. Dan inilah tantangan kita saat ini.[]
* Penulis peniliti the Wahid Institute, Jakarta
Sumber: pelitaonline.com | Jumat, 28 Oktober 2011
Alamsyah M. Dja'far*
Suatu ketika di sebuah media online lokal, saya baca pernyataan seorang pejabat pemerintah di Kepulauan Seribu -kampung halaman saya. Intinya menghimbau warga pulau pemilik penginapan menyediakan perlengkapan ibadah. Sang pejabat lalu merujuk dan mencontohkan mukena, sajadah, dan kain sarung bersih. Selain meningkatkan kualitas layanan, penyediaan perlengkapan ibadah ini menurutnya sekaligus sebagai cara halus mengingatkan para wisatawan muslim agar tak lupa beribadah meski sedang berwisata.
Dalam dua tahun terakhir, sejumlah pulau berpenduduk di Kepulauan Seribu dibanjiri ribuan wisatawan. Mereka datang dari Jakarta, Bandung, Sumatera, bahkan luar negeri. Pulau Tidung misalnya. Pulau berpenduduk mayoritas muslim ini setiap minggunya dikunjungi rata-rata 1500 wisatawan yang tak semuanya muslim. Dari kunjungan itulah kesejahteraan masyarakat yang mayoritas nelayan ini terus bangkit.
Sekilas, pernyataan pejabat di atas tampak wajar. Dengan penduduk mayoritas muslim, penyediaan peralatan shalat bagi wisatawan muslim tentu saja hak pengelola penginapan, sekaligus bagi wisatawan muslim yang juga dijamin undang-undang. Hanya saja, dari sudut lain pernyataan pejabat publik di forum publik ini bisa dipertanyakan dengan beberapa alasan.
Pertama, pejabat publik jelas tak diandaikan hanya mewakili dan melayani warganya atas dasar agama atau kepercayaan tertentu. Idealnya mereka mengambil posisi netral dan imparsial dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Undang-undang tegas menyebut, setiap warga negara, apapun jenis agama dan kepercayaannya, memiliki hak dan kewajiban setara. Kewajiban membayar pajak, sumber pembiayaan negara dan gaji pejabat negara, juga tak membedakan mereka yang muslim dan nonmuslim. Dengan logika macam ini, pembayar pajak dapat menuntut negara berlaku adil dan tak diskriminatif.
Logika perlengkapan ibadah yang dimengerti sekadar perlengkapan ibadah wisatawan muslim, sedang pada saat yang sama tak membicarakan hak bagi non-muslim, sesungguhnya memberi jalan bagi tindakan diskriminasi. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebut diskriminasi sebaga setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.
Kedua, pernyataan itu cerminan dari "nalar mayoritas" yang tengah menggejala. Nalar ini mengandaikan mayoritas dipandang sebagai kelompok utama yang lebih berhak membuat keputusan bagi masyarakat keseluruhan, sedang minoritas dan kenyataan keragaman pandangan tak cukup terakomodasi.
Melalui proses sejarah panjang relasi agama-negara di Indonesia, nalar itu muncul, berkembang, dan seolah-olah diterima begitu saja: begitulah mayoritas diperlakukan. Sejarah sosial dan keagamaan di Indonesia memang menunjukan relasi kuat agama-negara. Biasanya, berdirinya Departemen Agama pada 3 Januari 1946, selalu menjadi rujukan mengenai kekhasan hubungan agama dan negara yang menganut Pancasila, bukan sekuler. Sayangnya, yang lebih ditonjolkan justru kesan kuatnya relasi Islam-negara. Padahal kata "agama" di sana jelas menunjukan bentuk kompromi agar departemen ini tak hanya mengurus Islam, tapi juga agama lain. Prinsip keadilan ini yang mungkin membuat usul "Kementerian Islamiyah" ala Mohammad Yamin, anggota BPUPKI, ditolak.
Di masyarakat umum tak sedikit kita jumpai nalar mayoritas semacam itu. Di komplek-komplek perumahan baru sekarang ini, misalnya, tak sedikit yang memaksudkan fasilitas sosial untuk rumah ibadah sama dengan masjid. Alasannya, karena mayoritas penghuninya muslim. Kita lupa, penghuni non-muslim juga punya hak sama dan semestinya diberi hak untuk bersuara. Tak berarti di sana harus didirikan masing-masing satu rumah ibadah, padahalnya pemeluknya hanya segelintir orang. Prinsip pokoknya, bagaimana minoritas diberi suara dan ruang berpartisipasi. Tak heran, belakangan muncul gagasan hak pemeluk agama dan kepercayaan terhadap tempat ibadah diwujudkan dalam bentuk proporsi jumlah pemeluk dengan luas tanah tertentu. Di sekolah-sekolah umum, bukan agama, fasilitas sosial untuk tempat ibadah juga seolah-olah dengan sendirinya berarti masjid.
Ketiga, pernyataan tersebut mencerminkan pula pergumulan dan dinamika pengelolaan agama di ruang publik. Ruang publik mengandaikan adanya keragaman, termasuk agama dan keyakinan di dalamnya. Ia juga mengandaikan kehadiran minoritas yang perlu mendapat ruang dan suara. Untuk bisa diterima publik, nilai atau doktrin-doktrin keislaman mau tidak mau perlu melakukan transformasi dengan nilai-nilai publik lain agar bisa diterima disepakati sebagai keputusan publik. Dan ruang publik adalah arena di mana kritik dan debat terhadap nilai-nilai agama tertentu diselenggarakan.
Itulah mengapa kritik terhadap sejumlah undang-undang yang dianggap bernuansa Islam dan hanya diperuntukan untuk umat Islam, seperti UU Zakat atau Haji terus mengemuka. Muncul juga kritik pegiat HAM terhadap pernyataan-pernyataan Menteri Agama, khususnya terkait aliran sesat. Bagi sejumlah kalangan, regulasi itu diskriminatif karena mengutamakan mayoritas, minoritas diabaikan. Pernyataan Menag juga dinilai diskriminatif karena dianggap bertindak seolah-olah mewakili agama tertentu dan menghakimi keyakinan tertentu. Kritik semacam tak mungkin dihindari di tengah ruang publik yang kian terbuka bebas.
Dengan demikian, perlu ditekankan problem pokoknya bukan lagi soal apakah negara bisa mengurus dan mengatur agama, tapi pada sejauhmanakah negara bisa mengatur dan mengelola agama dengan adil dan tidak diskriminatif. Di negara-negara sekuler sekalipun, konsep pemisahan agama-negara justru terus mengalami penyesuaian dan pergeseran. Tahun 2005, di Amerika pernah ribut soal pameran Ten Commandement yang digelar di salah satu bangunan publik di Texas. Yang menolak beralasan, pameran melanggar Klausul Amandemen Pertama yang menegaskan prinsip pemisahan gereja dan negara. Tapi, Mahkamah memutuskan pameran di halaman gedung pemerintah di texas konstitusional, namun tidak di ruang sidang Kentucky. Itupun dengan tidak dibarengi tindakan negara yang dianggap mempromosikan agama dan keyakinan tertentu.
Pemahaman mengenai pengelolaan ruang publik ini sesungguhnya juga akan memberi pengayaan bagi penyelenggara negara dan masyarakat sipil, bahwa perkara dan doktrin agama tertentu tak bisa dengan mudah diterapkan begitu saja di ruang publik. Perlu ada proses dan tahapan agar nilai dan doktrin agama bisa diterima publik yang beragam.
Dalam kasus wisata di atas, tampaknya penduduk pulau pemilik penginapan diam-diam justru melakukan "kompromi keagamaan" semacam ini. Buktinya, kebanyakan mereka selama ini mau menerima para wisatawan nonmuslim. Padahal, debat mengenai seputar hukum menerima tamu non-muslim beberapa kali muncul, termasuk soal citra wisata yang menarik aktivitas maksiat.
Kasus di Kepulauan Seribu ini mungkin hanya secuil contoh, tapi bisa memberi memberi sinyal akan prolem pengelolaan agama di ruang publik dewasa ini. Di bagian wilayah lain di negeri ini, kasus serupa mungkin terjadi dan potensial terjadi. Dan inilah tantangan kita saat ini.[]
* Penulis peniliti the Wahid Institute, Jakarta
Sumber: pelitaonline.com | Jumat, 28 Oktober 2011
Komentar
Posting Komentar