Merespons Konflik Berbasis Agama (Oleh : Rumadi, Peneliti Senior Wahid Institute)

Merespons Konflik Berbasis Agama
Rumadi

Komisi IX DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, di mana dalam naskah akademiknya, agama dipandang sebagai salah satu sumber konflik sosial.
Konflik sosial, termasuk konflik bernuansa agama, merupakan kenyataan yang pernah dan mungkin akan terus terjadi di Indonesia. Namun, pemerintah (dan juga agamawan) enggan mengakui kenyataan tersebut.
Meski di sejumlah tempat, seperti Ambon dan Poso, pernah terjadi konflik bernuansa agama yang begitu kental, para pejabat pemerintah lebih senang menyatakan sebagai konflik sosial biasa, tak ada hubungan dengan agama. Kalau toh semangat keagamaan ada dalam konflik, itu sering dianggap penyebab sekunder atau agama hanya dijadikan kamuflase konflik yang sebenarnya, seperti konflik perebutan sumber daya ekonomi dan politik. Bahkan, tindakan terorisme yang jelas-jelas menggunakan spirit agama juga tak diakui sebagai persoalan agama. Kalau toh terorisme dianggap terkait agama, yang dipersalahkan adalah pemahaman keagamaan yang keliru.
Pertanyaannya, mengapa ada keengganan untuk menyebut konflik agama? Tentu ada alasan meski tak terucap, misalnya agama adalah sesuatu yang suci, sedangkan konflik sosial dianggap kotor. Yang suci dan yang kotor tak mungkin bersatu. Agama juga dianggap hal sensitif yang bisa mengaduk-aduk emosi massa. Begitu sebuah konflik dideklarasikan sebagai konflik agama, dikhawatirkan terjadi eskalasi.

Warisan dan Potensi Konflik
Indonesia kini menghadapi masalah-masalah warisan konflik masa lalu dan potensi konflik di masa depan. Persoalan warisan konflik masa lalu merupakan akibat dari belum tertanganinya secara memadai akar dan sumber konflik yang pernah terjadi.
Potensi konflik timbul akibat kebijakan pembangunan tak peka konflik, menguatnya sentimen kedaerahan akibat desentralisasi, kian langkanya sumber daya akibat bencana dan eksploitasi alam, serta konflik politik akibat belum terkonsolidasikannya demokrasi. Di satu sisi, potensi konflik warisan masa lalu masih perlu penanganan khusus, di sisi lain muncul potensi konflik baru yang perlu pencegahan dan pembangunan perdamaian lebih sistematis dan berkesinambungan.
Penanganan konflik selama ini dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis: apakah sepenuhnya diserahkan ke negara untuk bertanggung jawab menanganinya atau diserahkan ke mekanisme sosial-kultural yang hidup di masyarakat sipil. Hal itu tecermin dalam perdebatan yang berkembang selama ini, antara pendekatan resolusi konflik dan pendekatan HAM. Pendekatan resolusi konflik lebih menekankan pentingnya penyelesaian konflik berbasis pendekatan kultural mengingat banyak konflik terjadi tak hanya melibatkan warga sipil sebagai korban, tetapi sekaligus juga sebagai pelaku, seperti terjadi dalam konflik komunal di Maluku, Maluku Utara, Poso, serta Kalimantan Barat dan Tengah.
Pendekatan HAM lebih menekankan pentingnya penyelesaian konflik berbasis HAM, meminta tanggung jawab negara atas tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan, khususnya ketika negara justru terlibat sebagai aktor dan masyarakat jadi korban. Pendekatan komprehensif diperlukan dengan memadukan kedua model lewat pendekatan pembangunan sebagai perdamaian, dengan menempatkan keterjaminan pemenuhan kebutuhan dan hak dasar warga negara melalui kebijakan peka konflik dan peka HAM, bukan semata untuk mencegah konflik, melainkan juga mengatasi akar dan sumber konflik di masyarakat. Kebijakan ini perlu diintegrasikan ke sistem hukum dan politik sebagai bagian dari pelembagaan dan konsolidasi demokrasi.
Pembentukan RUU ini sebenarnya langkah strategis menuju bergulirnya kebijakan peka konflik dan sensitif HAM. Dengan itu diharapkan kebijakan pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian lebih terarah dan terpadu, di tingkat nasional maupun daerah. Pelembagaan upaya pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian di dalam sistem hukum dan politik sangat penting karena perdamaian, pembangunan, dan demokrasi tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pembentukan RUU ini diharapkan mendorong kebijakan pembangunan yang kian peka konflik, sensitif HAM, dan mempromosikan perdamaian sehingga kalau ada konflik, bisa diselesaikan secara demokratis di setiap level pengambilan kebijakan.

Arah RUU
Pertanyaannya, apakah RUU ini sudah berjalan ke arah tersebut, terutama yang terkait konflik keagamaan. RUU ini sebenarnya tak secara khusus membahas spesifik soal konflik agama. Apa pun latar belakangnya, konflik secara umum dikategorikan konflik sosial meski setiap konflik punya karakter sendiri-sendiri dan menuntut model penyelesaian berbeda. Agama hanya disebutkan salah satu sumber konflik sosial, di samping suku, etnis, perebutan wilayah, perebutan sumber daya ekonomi, distribusi dan sumber daya tak adil. Barangkali memang tak perlu pembahasan secara khusus.
RUU tampaknya menghindar dari penyelesaian konflik vertikal. Meski dalam naskah akademik dijelaskan macam-macam konflik, konflik vertikal, horizontal dan diagonal, dalam perumusan konflik cenderung diletakkan sebagai konflik horizontal. Ini bisa dilihat dalam rumusan pengertian konflik, yang diartikan "benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, berdampak luas, dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat".

Dari rumusan ini, ada beberapa pertanyaan. Pertama, apakah ini ketidaksengajaan atau upaya sadar sebagai cara menghindar negara dari konflik sosial, terutama konflik bernuansa agama? Kedua, model pendefinisian demikian tak bisa sepenuhnya digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik keagamaan yang marak di Indonesia, seperti soal Ahmadiyah, konflik tempat ibadah, dan intoleransi.
Dalam kasus-kasus itu, meski jelas terjadi konflik, isu-isu itu tak masuk skema RUU ini selama tak ada "peperangan" antardua kelompok. Penyusun RUU Penanganan Konflik Sosial tampaknya hanya membayangkan konflik yang pernah terjadi di Ambon dan Poso, padahal konflik sosial bernuansa agama kini modusnya beraneka macam. Jika memang yang dibayangkan konflik Ambon dan Poso, kedua konflik besar ini bukanlah semata konflik antarkelompok masyarakat, tetapi ada faktor negara di sana. Kita tak bisa membayangkan aparat birokrasi itu bisa sepenuhnya "netral" dalam konflik sosial sehingga mereka sepenuhnya diberi kewenangan untuk menyelesaikan.
Dalam kasus Ambon dan Poso, aparat keamanan dan birokrasi justru jadi bagian dari konflik itu sendiri. Karena itu, penyelesaian pencegahan, penghentian konflik, dan penanganan pascakonflik tak bisa dilakukan secara mekanik. Hal lain yang alpa dari RUU ini adalah pendefinisian tentang korban konflik. RUU ini sama sekali tidak punya perspektif korban yang harus dipulihkan hak-haknya. Ini persoalan serius yang harus mendapat perhatian penyusun RUU ini.

* Peneliti Senior the Wahid Institute
Sumber : KOMPAS, 14 November 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekerjaan Rumah Dari Gus Dur (Oleh : Ievyani Liebedich)

6 Prinsip Bela Negara Atas Pemahaman Sejarah (Oleh : Ayah Debay)

Pluralisme (Oleh : Ronny Leung)