Tegakkan HAM aja kok repot! (Oleh : USMAN HAMID)
Tegakkan HAM aja kok repot!
USMAN HAMID
Pada 31 Desember ini tepat dua tahun wafatnya KH Abdurrahman Wahid (1940-2009), sosok ulama sekaligus intelektual aktivis yang menjadi Presiden Republik Indonesia, Oktober 1999-Juli 2001. Apa sumbangsih pemerintahannya terhadap HAM? Berkembangkah penegakan HAM sesudahnya, misalnya pemerintahan SBY sekarang?
Refleksi komparatif yang utuh tentu tak mudah. Hanya memetik relevansi praksis kepemimpinan Wahid untuk meneropong situasi HAM sekarang. Pertama, Gus Dur adalah sosok pemimpin pembela rakyat marjinal, miskin hingga minoritas etnis dan agama yang dikurangi hak-haknya untuk berkeyakinan, beragama dan mendirikan rumah ibadah. Persis masalah-masalah inilah yang sekarang mengalami kemerosotan. Kedua, permasalahan HAM sekarang berakar dari tidak tuntasnya koreksi warisan kejahatan pemerintahan Suharto oleh pemerintahan transisi Wahid, Megawati dan SBY. Pengalaman pemerintah transisi hampir selalu dilematis untuk mengakui warisan kejahatan masa lalu, meminta maaf, menuntut yang bersalah dan mencabut peraturan opresif-diskriminatif hingga mereformasi kelembagaan demi mencegah kesalahan terulang.
Kemerosotan terlihat karena tahun 2011 penuh kekerasan. Teror bom buku aktivis pluralisme (Ulil Abshar) yang melukai petugas, aksi brutal terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, pembakaran masjid di Medan, penyerangan gereja Temanggung, kemudian bom di Gereja Kepunton Solo, larangan pendirian Gereja Yasmin meski dibolehkan MA hingga pembakaran pesantren syiah. Intoleransi ekstrem berulang meski penindakan terorisme begitu represif didukung dana masif. Belum lagi penembakan, penyiksaan dan pembunuhan di Papua, ditambah sebanyak 66 tahanan politik terkait insiden tarian Cakalele Maluku dan pengibaran bendera Papua di mana Filep Karma, mantan PNS dihukum 15 tahun penjara. Tahanan politik yang dituding ekstrem-kiri dan kanan, dari Talangsari 1989, Priok 1984, tragedi 1965/1966 dan orang-orang pro-kemerdekaan Timor-Timur, termasuk aktivis-aktivis PRD dibebaskan oleh kepresidenan Wahid dan Habibie. Aneh jika mengklaim pemerintahan demokrasi, tapi memenjarakan orang karena perbedaan politik.
Kepresidenan Wahid mendukung institusi-institusi HAM. Penyelidikan-penyelidikan Komnas HAM ditindaklanjuti. Seorang jenderal dicopot karena terlibat kejahatan kemanusiaan dan menghambat reformasi militer. Jaksa Agung pilihannya memproses koruptor kakap dan pelanggar HAM. Keputusan Presiden diterbitkannya untuk memfungsikan pengadilan HAM. Penguasa sekarang tak mendukung Komnas HAM. Jaksa Agung dan Pengadilan HAM tak difungsikan. Kasus-kasus menumpuk setahun terakhir di Komnas HAM setidaknya ada 819 sengketa lahan, 451 sengketa industrial perburuhan, 300 kasus kepegawaian, 193 penggusuran-paksa, 120 kasus lingkungan, 84 kasus kebebasan beragama, 79 kasus masyarakat adat, 75 kasus buruh migran dan 50 kasus kesehatan. Yang terbanyak dikeluhkan adalah kepolisian (1503), perusahaan (1119), pemda (779), pengadilan (544), BUMN (273), kejaksaan (264), TNI (223). Masalah utama adalah hak memperoleh keadilan (2466), kesejahteraan (2317), rasa aman (948), hak hidup (191), hak perempuan (126), hak anak (74) hingga hak turut-serta dalam pemerintahan (61). Kasus-kasus tersebar di Jakarta (1211), Jawa Timur (758), Sumatera Utara (640), Jawa Barat (586), Sumatera Barat (364), Sumatera Selatan (204), Riau (282), hingga Lampung (72). Ini termasuk pengusutan pembunuhan Munir yang berhenti.
Sengketa lahan tertinggi karena penguasa sekarang memberikan kepastian hukum pertanahan segelintir pemodal daripada bagian terbesar penduduk: petani. Strategi pembangunan Gus Dur mengumakan ekonomi petani. Strategi pemerintahan yg sekarang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi lewat kemudahan investasi modal asing, legislasi sektor migas, mineral, batubara, perkebunan, hingga yang terbaru pengadaan tanah. Semua berakar dari tak dijalankannya sumber hukum pertanahan nasional yaitu UU Agraria yang merombak stelsel hukum pertanahan kolonial. Ketimpangan ekonomi masyarakat yang hidup subsisten dari pertanian dan perikanan berlanjut, ditambah kerusakan ekologis.
Kepresidenan Wahid memperbolehkan pengibaran bendera bintang kejora sebagai lambang kebudayaan Papua hingga menyumbang Rp 1 Miliar untuk pelaksanaan Kongres Rakyat Papua I (2000). Pemerintahan sekarang mengirim aparat bersenjata mengejar dan menembak warga peserta Kongres Rakyat Papua III (2011). Warga luka-luka, tiga tewas tertembak.
Langkahnya tak memicu disintegrasi. Itu malah mendekatkan orang Papua dengan pemerintah selain menghasilkan jalan tengah Otonomi Khusus 2001. Pemerintahan sesudahnya tinggal melaksanakan, tanpa harus khawatir Papua lepas dari Indonesia. Kenyataannya jauh dari harapan. Otonomi khusus tak dijalankan sungguh-sungguh. Pengadilan HAM dan KKR tak dibentuk. Papua dimekarkan mendahului pendirian Majelis Rakyat Papua. Hubungan Jakarta-Papua semakin tegang. Saat mogok kerja buruh Freeport mengemuka, banyak warga sipil termasuk tiga anggota TNI juga tewas.
Kepresidenan sekarang mengklaim tak ada pelanggaran HAM berat selama pemerintahannya. Penyiksaan dua warga Papua yang tersiar di youtube pada 2010 dianggap indisipliner dengan vonis ringan pengadilan militer. Bagaimana bisa sampai kesimpulan juridis pelanggaran HAM berat jika penyelesaiannya melalui pengadilan militer? Sekejam apapun penyiksaan, termasuk menyulut api pada kelamin, mustahil disimpulkan pelanggaran HAM berat karena tak dikenal KUHPM. Berbagai laporan pelanggaran HAM berat Komnas HAM tak pernah diperiksa oleh pengadilan HAM. Hakim-hakimnya ditelantarkan tanpa satu kasus yang masuk. Mandat undang-undang tentang pendirian pengadilan HAM di seluruh propinsi tak dijalankan. Kasus pelanggaran HAM kian menumpuk dari Mesuji hingga Bima.
Berbeda dari Yudhoyono, kepemimpinan Wahid berbasis partai minoritas. Meski ditentang partai-partai politik, kebijakan Wahid dilaksanakan tanpa khawatir kehilangan kekuasaan atau citranya. Wahid menghapus undang-undang represif, menetapkan legislasi pertahanan, militer dan kepolisian yang reformis serta mengangkat sipil sebagai Menteri Pertahanan dan Kepala BIN. Pak Mahfud MD salah satunya dan Gus Dur tak mengenalnya saat mengangkatnya jadi Menhan. Itu bukti bahwa Gus Dur tak mengangkat orang karena kenal atau dekat, apalagi saudara ipar. Sekarang legislasi represif direintroduksi lewat RUU Keamanan Nasional dan UU Intelijen Negara yang eksesif dan mencampuri kekuasaan judisial. Wahid tak mengangkat Kepala BIN dari TNI aktif, apalagi mengangkat suadara ipar sebagai pimpinan militer.
Keberhasilannya diakui telah menggairahkan penegakan HAM. Kegagalannya disebabkan pragmatisme elite-elite sipil dan sedikitnya kaum reformis militer, bukan keragu-raguannya. Memang kepresidenan Wahid tak selama yang sekarang. Tapi memimpin lama tak otomatis berani berbuat banyak. Tegakkan HAM aja kok repot!
Tulisan ini disampaikan dalam Haul 2 Gus Dur, 30 Desember 2011, di Ciganjur Jakarta Selatan
Komentar
Posting Komentar