Hari Santri 22 Oktober 2017 di Pesantren Gedongan Cirebon

Satu minggu sebelum hari santri Gus Amiruddin Faisal memberitahu kami para admin grup Sahabat Gus Dur sebuah undangan perayaan Hari Santri Minggu 22 Oktober 2017 di Cirebon. Saya, Pak Teddy dan sahabat saya Andre dengan antusias menyambut undangan itu, menetapkan hati untuk berangkat.

Sebuah perjalanan pencerahan kembali?

Setahun berlalu sejak ajakan beliau lagi di Rembang, Agustus 2016 di Pesantren Raudlatut Thalibin bertemu sosok besar nan sederhana dengan senyum dan cerita - cerita lucunya. KH Ahmad Mustofa Bisri, sosok yang memberi saya banyak pencerahan dan semangat kembali untuk menatap hidup ini. Kadang hidup memberi kita banyak masalah dan musibah dan kita kehilangan daya dan akal untuk menghadapinya. Tapi sejak pertemuan itu saya mendapatkan banyak pencerahan dan motivasi bukan hanya lebih kuat tapi yang terutama menjalani hidup yang lebih damai dan apa adanya.

Kembali ke rencana kami berangkat ke Cirebon, undangan itu bagaikan refresh buat saya ditengah kesibukan kerja dan kepenatan hidup menghadapi bertubi - tubi tantangan dan rintangan kehidupan. Dorongan untuk rehat, santai dirumah segera saya singkirkan, saya harus berangkat ada sesuatu yang akan saya dapatkan, dan mungkin ada yang perlu saya renungkan kembali atau waktunya saya kembali belajar tentang beragama, bersikap dan menjalani hidup.

Sabtu 21 Oktober 2017, pulang kerja jam 6 malam, segera saya bersiap - siap, setelah mengisi beberapa tulisan di akun FB saya jam 7 lebih kami berangkat. Bis malam itu berjalan kencang membawa kami berdua, kami berdua yang mungkin berbeda tapi satu tujuan kami yaitu sebuah pencerahan dan perenungan hidup kembali.

Sampai di Pesantren Gedongan, Cirebon pukul 8 pagi, segera kami ikut dalam kesibukan pesantren, hilir mudik santri dan tamunya menyambut acara apel upacara Hari Santri 22 Oktober 2017. Tak lama setelah kami kontak Gus Amir, segera kami diantar kesebuah tempat untuk berbenah dan istirahat sebentar, disitu juga kami bertemu Pak Teddy yg berangkat dahulu dari Semarang, lengkap sudah kami bertiga disana.

Pukul 10 menjelang siang, upacara segera dimulai. Langsung menyemut ribuan santri berjalan bersama dari berbagai pesantren menuju lapangan upacara. Ketika matahari mulai ditengah dimulailah upacara itu, betapa khusuk dan hidmat mereka mengikutinya, malu rasanya kita ini yang hanya ikut menikmatinya, ikut merasakan kemerdekaan ini tapi hanya bisa mengeluh tentang hidup dll. Apakah kita tidak sadar hidup yang mungkin kita gerami, masalah yang kita takuti atau apapun juga tetap jauh lebih berharga daripada hidup sebagai tawanan, hidup sebagai jajahan, hidup sebagai budak bangsa asing? Apakah kita lupa bahwa hidup ini memang penuh konsekuensi dan tidak ada jalan mudah?

Ribuan santri itu sempat membuat saya bergidik, membayangkan masa lalu masa dimana 300.000 santri dari berbagai penjuru tanah air masuk ke kota Surabaya melakukan jihad akbar melawan kedzoliman, melawan penjajah, melawan perbudakan, melawan angkara murka dan mempertahankan tanah air Indonesia. Ribuan santri yang patuh dan taat itu membuat saya merenung betapa dahsyat pengorbanan para kyai dan santri ini dalam membela kebenaran di bumi pertiwi ini, malu kita masyarakat sekuler, masyarakat modern, masyarakat modern ini yang dengan gampangnya memasukkan faham - faham perpecahan, hasutan dan kedengkian untuk memecah bangsa dan negara yang sudah diperjuangkan oleh jutaan nyawa dan darah santri dan kyai.

Kesederhanaan dan persaudaraan, dua hal yang selalu ada, dua hal yang dulu juga saya terima di Rembang dan sekarang di Cirebon. Hal yang dulu menampar dan membuka mata saya sekarang membawa saya dalam keluarga besar. Betapa malunya orang yang dengan gampang membenarkan diri tanpa berpikir benar, betapa malunya orang yang mengkafirkan, mensesatkan dan membidahkan tapi tanpa tindakan benar. Benar - benar kami bertiga masuk kembali dalam perenungan hidup.

Santri, seorang murid yang taat dan diajarkan moral dan etika yang sering disebut akhlak, sesuatu yang jarang lagi diajarkan dalam sekolah - sekolah umum. Sekolah - sekolah sekuler yang sibuk dengan teknologi dan kesombongan manusia yang akhirnya membenamkan mereka sendiri dalam hidup tanpa arah, sekolah sekuler yang mengaku beragama, berilmu secara instan yang menghasilkan murid - murid dangkal yang sibuk membenci dan menghasut daripada menyebarkan kebaikan dan kebenaran. Sekolah - sekolah instan yang gurunya mungkin sibuk menyebarkan ajaran perpecahan, ekslusifitas dan kebencian sehingga murid -muridnya jauh dari beradab.

Apakah kita semua perlu merenung dan sejenak berpikir apakah negeri bhinneka tunggal ika ini layak kita kangkangi sendiri, hak-i sendiri ataukah kita malu bahwa perjuangan kyai dan santri ini layak kita hargai dan syukuri bahwa negeri ini hasil perjuangan kita bersama apapun agama, suku, rasnya ini adalah rumah kita bersama.

Bagi anda mungkin ini ziarah atau istilah lain tapi bagi saya ini adalah perjalanan perenungan dan pencerahan, selalu membawa hikmah yang besar bagi pikiran dan kehidupan saya.


Terima kasih Kyai, Terima kasih Gus Amir, Terima kasih santri - santri

Anda sekalian selalu membawa pencerahan dan perenungan hidup bagi saya.
Bagi saya, andalah manusia Indonesia sesungguhnya dan kami seharusnya banyak belajar dari anda baik beragama, berbangsa dan bernegara.

Sekali lagi dan berkali kali lagi terima kasih atas segala inspirasi dan pencerahan yang saya selalu dapatkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekerjaan Rumah Dari Gus Dur (Oleh : Ievyani Liebedich)

6 Prinsip Bela Negara Atas Pemahaman Sejarah (Oleh : Ayah Debay)

Piagam Madinah,Pancasila dan UUD 1945 (Semangat Persatuan Dalam Bernegara)